Informasi Terkini
Rabu, 26 Jun 9247
  • Selamat Datang di Website Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry Banda Aceh
  • Selamat Datang di Website Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Lima Kunci Kemakmuran Masjid Jogokariyan

Senin, 15 Januari 2024

Ketua BKM Masjid Fathun Qarib UIN Ar-Raniry, Imuem Syik Jamik Baitul Jannah Tungkop, Aceh Besar, melaporkan dari Yogyakarta

Terletak di tengah perkampungan Jogokariyan Yogyakarta, Masjid Jogokariyan langsung mengadopsi nama kampungnya. Nama Jogokariyan tampaknya langsung melekat dan menyatu di hati warga kampung itu. Mudah diingat dan menimbulkan rasa kepemilikan dari warga sekitar masjid.

Dari diskusi dengan Ustas Rizqi, ketua takmir masjid itu, pada 15 Juni 2023, Jogokariyan diambil dari nama pasukan tim pengaman kraton yang dibentuk di kampung itu. Namanya Jogokaryo atau pasukan jaga karya. Yaitu, penjaga tempat raja yang disegani dan memiliki peran penting di tengah masyarakatnya.

Kampung dengan jumlah penduduk kurang lebih 2.600 jiwa yang terbagi dalam 18 RT dan 4 RW itu  tampak bersahaja, kecuali dua hotel yang terletak di gerbang jalan masuk perkampungan. Selebihnya semua bangunan khas Yogya. Bersahaja, padat, tetapi tertata bersih dan ramah.

Dengan warna khas biru lembut Masjid Jogokariyan bukanlah bangunan mewah yang berukuran besar. Dibangun tahun 1966, yaitu saat azan shalat Jumat perdana dikumandangkan di masjid itu, bangunan utamanya tampak hanya sekitar 10 x 10 meter. Kubahnya berbentuk dome, khas masjid-masjid Nusantara. Namun, masjid ini dalam perjalanan waktu mengalami perluasan, sehingga sekarang mampu menampung sekitar 1.500 jamaah.

Berkesempatan berada lima waktu dan shalat Jumat, 16 Juni 2023 di Masjid Jogokariyan, saya merasakan perbedaan. Tak pernah sepi. Setiap waktu shalat tiba ruang masjid selalu dipenuhi jamaah. Tak kurang 500 orang. Setiap waktu. Subuh, sama. Bahkan saat shalat Jumat jamaah meluber ke jalan utama perkampungan samping kanan masjid

Apa kekuatannya?

Saya coba serap dan bikin catatan kecil mengenai kekuatan dan kunci sukses manajemen masjid ini. Setidaknya terdapat lima kunci sukses kemakmuran masjid ini.

Pertama, inklusif. Masjid tak berdiri jauh dari masyarakat. Dekat dari berbagai arah. Namun, yang saya maksudkan di sini adalah spiritnya menyatu dengan masyarakat. Akrab. Tak tampak ada sekat-sekat yang memisahkan antara masjid dengan warganya. Terbuka, tanpa pintu dan pagar eksklusif. Suasana cair. Warga bebas keluar dan masuk masjid sesuai kebutuhan mereka untuk ibadah dan belajar.

Selesai shalat Jumat saya masuk ke ruang takmir, sekadar untuk melihat suasana di dalam sekretariat mereka. Para takmir yang ada di situ sekira enam orang bebas lepas dalam canda dan gurau. Tampak dari raut wajah mereka bahwa mengurusi masjid seperti Jogokariyan itu menyenangkan. Tidak ada beban yang melelahkan dan menguras energi.

Kedua, baseline. Takmir memiliki baseline data warga sekitar masjid, yaitu data warga Jogokariyan yang detail. By name by address. Siapa namanya, kepala keluarganya, pekerjaannya, pendapatannya, pendidikan masing-masing anggota keluarga, kemampuan baca Qur’an, kemampuan menjalankan shalat, bahkan data penyakit yang diderita. Semua hal dicatat dalam baseline masjid. Baseline data itulah yang digunakan oleh takmir dalam membangun program-program masjid. Jadi, programnya tepat sasaran.

Ketiga, orientasi menarik jamaah. Objective masjid clear, yaitu membawa warga berjamaah di masjid. Semua warga, khususnya kaum pria. Perempuan, anak-anak juga. Remaja, apalagi. Untuk tujuan itu maka pernah Masjid Jogokariyan membuat program menshalatkan orang hidup. Yaitu, dengan mengirim ustaz ke rumah-rumah untuk membimbing warga yang belum bisa shalat. One by one. Ditangani khusus, di rumah masing-masing. Setelah agak bisa, maka didampingi oleh ustaznya untuk pergi menunaikan shalat di masjid.

Keempat, memenuhi kebutuhan dan perhatikan kepentingan jamaah. Per kategori, per individu. Ditangani dengan pendekatan berbeda  berdasarkan kategori masing-masing. Setiap kategori memiliki kebutuhan dan kepentingan tersendiri yang berbeda-beda. Masjid mengelola program yang menyentuh masing-masing kategori jamaah itu. Di masjid ini anak-anak tidak dimarahi meski mereka main game. Difabel perlu jalur kursi roda maka masjid menyediakan tangga yang sesuai sekaligus menyediakan kursi rodanya.

Orang kaya ingin imam seperti di Masjidil Haram atau Nabawi, maka manajemen masjid mendatangkan imam yang suaranya bagus. Intinya masjid mengikuti dan melayani kebutuhan dan kepentingan jamaah.

Kelima, memfungsikan jamaah. Umumnya di masjid-masjid jamaah datang untuk melaksanakan shalat, wirid, berdoa, dan pulang. Di Jogokariyan tidak seperti itu. Jamaah yang sudah ada di masjid, difungsikan sesuai minat dan kapasitas masing-masing. Masuk dalam tim relawan pengelola program masjid. Saat ini di manajemen Jogokariyan telah ada 30 divisi program (yang disebut biro) yang masing-masing biro ada timnya yang mengurusi, direkrut dari jamaah. Biro tidak dibentuk berdasarkan keinginan masjid, tetapi berdasarkan identifikasi program yang diusulkan jamaah. Untuk program kurban saja misalnya terserap sampai 500 orang dengan rata-rata kurban disembelih setiap tahunnya 50 ekor sapi dan 50 ekor kambing.

Kotak amal di Masjid Jogokariyan banyak, yaitu tergantung masing-masing program. Kotak parkir, kotak dunia Islam, kotak Jumat (untuk membiayai pengadaan nasi berkah setiap selesai shalat Jumat), dan lainnya. Setiap kotak itu ada tim bendaharanya yang dibentuk dari kalangan jamaah. Umumnya jamaah sibuk dengan tugas masing-masing di masjid ini. Sehingga, 24  jam orang tidak putus terus bergilir datang dan pulang untuk beribadah dan menyelesaikan tanggung jawab masing-masing. Jadi, di masjid ini tidak ada kasus kecurian kotak amal karena selalu ada orang di situ.

Masjid pemberdaya

Masjid Jogokariyan telah melewati tahapan-tahapan yang signifikan. Bila masjid-masjid kita dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, sesuai tahapan dan peringkatnya, maka dapat dilihat sebagai berikut.

Pertama, masjid donasi. Yaitu, masjid yang pengelolaan keuangannya tergantung donasi jamaah atau dengan mengajukan proposal kepada pihak-pihak lain, termasuk pemerintah.

Kedua, masjid mandiri. Yaitu, masjid yang pendanaannya dikelola dari sumber infak jamaah. Di level masjid mandiri ini jamaah diadvokasi agar membawa infak setiap datang ke masjid. Kebutuhan operasional masjid dihitung totalnya lalu dibagi per individu jamaah.Ketiga, masjid pemberdaya. Pada level ini masjid tidak lagi memerlukan donasi, infak jamaah dan sumbangan melalui proposal untuk menjalankan roda kemasjidannya. Semua dana sudah dapat dicover sendiri oleh masjid.

Dana jamaah seberapa pun yang ada dapat langsung dihabiskan. Inilah rahasia masjid ini dapat mengumumkan saldo nol rupiah.Hal ini dimungkinkan oleh karena dana jamaah infak sudah langsung teralokasi ke pos program melalui kotak amal khusus masing-masing program sebagaimana dijelaskan di atas.

Dana infak jamaah langsung terdistribusi. Sementara untuk biaya operasional, masjid tidak lagi mengandalkan dana infak, tetapi dana sendiri yang diakumulasi dari keuntungan bisnis yang dijalankan oleh masjid. Bagaimana masjid Jogokariyan menjalankan bisnis? Adalah dengan cara wakaf produktif. Masjid merancang bisnis yang permodalannya dihimpun melalui wakaf. Manajemennya tentu khusus sesuai ketentuan wakaf. Namun, wakaf itu digunakan secara produktif melalui investasi usaha atau bisnis yang menguntungkan.

Keuntungan sahamnya digunakan untuk membiayai operasional masjid. Sementara dana wakaf itu abadi. Dana waqaf tersebut dipekerjakan untuk men-create keuntungan. Agar masjid-masjid kita di Aceh segera bertransformasi dari masjid donasi atau masjid mandiri ke masjid pemberdaya, tampaknya banyak hal yang perlu kita pelajari dari Masjid Jogokariyan ini.